Sebagai perokok, saya cuma bisa tepuk jidat mendengar fakta bahwa tarif cukai rokok kita sudah tembus 57 persen. Mahal banget! Dan ketika Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dengan santai bilang, "57 persen ? Tinggi amat, Fir'aun lu!", saya refleks ketawa. Karena ya… itu yang ada di kepala saya selama ini.
Tarif setinggi ini seolah pemerintah lagi bikin perokok seperti saya "bertobat" secara paksa. Padahal, rokok itu bukan sekadar kebutuhan—ada jutaan orang yang hidupnya bergantung pada industri ini. Petani tembakau, buruh pabrik, sopir angkut, pedagang eceran, semua akan kena imbas kalau industri dikebiri.
Dan jujur saja, kebijakan ini terasa seperti ikut-ikutan tekanan global. WHO memang gencar mendorong pengendalian konsumsi tembakau lewat cukai tinggi. Tapi apakah kita harus selalu nurut, tanpa melihat kondisi rakyat dan industri kita sendiri? Negara ini bukan laboratorium kebijakan kesehatan global. Kita punya jutaan pekerja yang harus diberi makan hari ini, bukan sekadar angka statistik di laporan WHO.
Dan yang bikin saya setuju banget dengan Menkeu Purbaya adalah idenya menurunkan tarif cukai demi meningkatkan pendapatan negara. Logikanya sederhana: kalau harga rokok terlalu mahal, orang akan berhenti membeli atau beralih ke produk ilegal. Negara rugi, industri sekarat, pekerja kehilangan kerjaan. Kalau tarifnya diturunkan, konsumsi bisa stabil, volume penjualan naik, dan penerimaan negara justru bertambah. Win-win.
Kebijakan yang sengaja "membunuh industri" tanpa mitigasi bagi tenaga kerja itu jelas tidak bertanggung jawab. Kita bukan cuma bicara angka di APBN, tapi juga perut orang-orang yang bergantung pada sektor ini.
Saya pribadi ingin negara hadir dengan kebijakan yang lebih waras: edukasi publik soal bahaya merokok jalan terus, tapi harga jangan dipatok kayak hukuman. Kami perokok sudah tahu risikonya, tapi jangan sampai kami harus bayar seolah-olah sedang menebus dosa.
Jadi, saya mendukung penuh rencana Menkeu Purbaya untuk meninjau ulang tarif cukai ini. Karena kalau kebijakan yang ada sekarang dibiarkan, ya kita cuma bisa bilang: "57 persen? Tinggi amat… Fir'aun lu!"
ALI ACHMADI, Pemerhati Masalah Sosial, Tinggal di Pati
0 komentar: